Senin, 04 Januari 2016

Riwayat Hidup Auw Tjoei Lan

Siapa  itu Auw Tjoei Lan?

Banyak sekali panggilan atau julukan untuk Beliau, seperti: Kartini dari Batavia, musuh para mucikari, aktivis  kebajikan dll.

Pada awalnya saya pun tidak mengetahui tentang Beliau. Namun saya mendapatkan tugas untuk membahas riwayat hidup tentang Beliau; saya pun mulai berusah mencari tahu tentang Beliau. Ketika saya sudah menemukan artiker dan riwayat tentang Beliau, saya pun mulai tertarik untuk membacanya.
Saya berharap dengan mempost artike tentang Beliau yang saya kumpulkan dari beberapa artikel dapat memberi tambahan pengetahuan untuk yang mebaca dan dapat meberi nilai tambah untuk tugas saya.

Auw Tjoei Lan

Nama Lengkap : Auw Tjoei Lan
Lahir               : 17 February 1889, Majalengka-
                         Jawa Barat
Julukan           : Kartini dari Batavia, musuh para
                        mucikari, aktivis  kebajikan, dll.

Auw Tjoei Lan adalah seorang putri dari Auw Seng Hoe, yang merupakan seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei Lan.

Auw Tjoei Lan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.

Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.

Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah.

Garda terdepan gerakan perempuan.

Perdagangan perempuan sudah marak kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur. Mereka umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang ‘madat’ lebih susah daripada ‘dagang daging manusia’.”
Selain Ati Soetji, Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan "terlantar" dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat Islam.
“Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalamPenghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

Angkat suara diforum antar Bangsa.

Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung. Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.”
Praktik ini sulit diberantas. Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Lenmemujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.

Membuka pintu bagi bayi- bayi terbuang.

Suatu hari Auw Tjoei Lan kaget. Di serambi rumahnya yang terletak di daerah Gunung Sahari (waktu itu Weltevreden), ia menemukan bayi. Naluri kemanusiaan Auw Tjoei Lan pun terusik. Dia ambil bayi itu lalu dia besarkan layaknya anak sendiri. Lalu seorang perawat bernama Zuster Gunning membawa bayi ke rumahnya dan meminta Tjoei merawatnya. Perawat ini bahkan datang berkali-kali. Akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan panti asuhan.
Auw Tjoei Lan dan suaminya sudah tinggal di rumah sendiri di Gunung Sahari. Tapi rumahnya terlalu sempit untuk menampung bayi-bayi itu. Dia juga belum punya pengalaman. Tapi setelah berkenalan dengan Nyonya Graaf van Limburg Stirum, istri Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum, jalannya benderang. Nyonya Limburg mendukung gagasannya, bahkan kerap memberi petunjuk.
Hasrat Auw Tjoei Lan kian bergelora. Dia minta bantuan berbagai pihak, dan berhasil mendapatkan uang sebesar 700 gulden. Dengan uang itu, dia menyewa sebuah rumah yang terletak di dekat rumahnya. Panti asuhan pun berdiri. Selain dirinya, Zuster Gunning, dr Zigman, dan dr Boeke jadi pengurusnya. Sementara Graaf van Limburg Stirum dan nyonya duduk sebagai pelindung

Dibesarkan untuk beramal pada sesama.

Kegiatan amal bukan hal baru bagi Auw Tjoei Lan. Sejak remaja, dia sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan amal ayahnya. Disiplin dan keteguhan hatinya juga dia pelajari dari cara ayahnya mengontrol para pekerja yang menjalankan kegiatan amal. Suatu kali Auw Tjoei Lan mendapat tugas memberikan makan kepada para tunanetra. Lantaran teledor dan kurang bersih membuang duri-duri ikan, dia kena hukum pukulan rotan. Dia jadi lebih berhati-hati menjalankan tugas.
Dia beruntung lahir dan besar dari orangtua yang berpikiran maju. Auw Tjoei Lan kecil tak dipingit seperti kebanyakan anak perempuan masa itu. Di rumah, dia dan saudara-saudaranya mendapat pendidikan Belanda dari seorang guru privat yang didatangkan dari Batavia. Ketika remaja, dia memperdalam pendidikan di Bogor dan tinggal di rumah keluarga seorang pendeta. Selepas dari Bogor, dia kembali ke Majalengka dan menjalankan kegiatan amal ayahnya. Dan ketika menikah, dia memiliki panti asuhan sendiri.

Prakasa amal yang terus tumbuh- kembang.

Panti asuhan itu diberi nama Ati Soetji, sama seperti organisasi bentukan dr Zigman. Di kalangan orang Tionghoa panti ini dikenal dengan nama Po Liang Kiok (tempat perlindungan untuk menjaga kebajikan). Nama terakhir ini punya pengaruh besar dalam dunia bisnis, “Sehingga baiknya untuk diperkenalkan organisasi ini di kalangan mereka (Tionghoa),” tulis Myra.
Ati Soetji terus berkembang. Pada 1925 sebuah panti asuhan untuk anak laki-laki dibuka Ati Soetji. Empat tahun kemudian, setelah sempat pindah ke rumah yang lebih besar di Salemba, Ati Soetji pindah lagi ke Kebon Sirih –di kemudian hari jalan tempat panti itu berada dinamai Jalan Ati Soetji. “Gedung ini cukup luas untuk sebuah sekolah dasar, sehingga anak-anak tidak perlu sekolah di luar,” tulis Myra. Pada 1933 bahkan Ati Soetji mampu membuka sebuah mode atelier, bengkel untuk membuat pakaian perempuan, di Menteng.
Ati Soetji sangat memperhatikan perlindungan, kesehatan, asupan gizi, pendidikan, dan kehidupan sosial anak-anak asuhnya. Setiap hari Auw Tjoei Lan datang untuk melihat kondisi anak-anak asuhnya maupun panti. Begitu seorang anak dititipkan kepadanya, dia memeriksakan anak itu ke rumah sakit. Ketika usianya mencukupi, anak asuh akan dimasukkan ke sekolah dasar. Bagi yang pintar, panti akan memasukkan ke sekolah lanjutan.
Hubungan anak asuh dengan pengasuh cukup dekat. Setiap anak asuh mendapatkan pelayanan yang memadai hingga jenjang pernikahan. Mereka bebas memilih calon suami; panti hanya memastikan kejelasan asal-usul calon suami mereka. Lelaki yang dianggap kurang baik akan ditolak. Intinya mereka akan melepas anak asuhannya jika benar-benar bisa hidup mandiri.
Masa tersulit harus Auw Tjoei Lan hadapi ketika pendudukan Jepang. Suaminya dipenjara di Bukit Duri, Serang, dan kemudian Cimahi. Dia juga pernah ditahan selama beberapa hari. Keuangannya terus menurun hingga akhirnya panti-pantinya tutup. Hanya Ati Soetji yang bertahan. Dia sendiri sempat dicurigai. Beruntung pemerintah militer Jepang akhirnya menghargai pekerjaannya, bahkan memberikan bantuan untuk panti asuhannya.
Usai kemerdekaan, Auw Tjoei Lan berusaha membangun kembali panti-pantinya. Perjuangannya tak sia-sia. Kini jejaknya masih terlihat dari panti asuhan dan bangunan sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Semangat Auw Tjoei Lan terus menyala hingga ajal menjemputnya pada 19 Desember 1965.
Banyak orang merasa kehilangan. Ribuan orang melayat dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di pekuburan Jati Petamburan.

Demikian Riwayat Hidup Auw Tjoei Lan. Semoga dapat bermanfaat bagi yang membaca artikel ini. Terima Kasih^^


Sumber:
· http://historia.id/persona/auw-tjoei-lan-pelindung-kebajikan
· http://segenggamdaun.com/2014/07/auw-tjoei-lan-kartini-dari-batavia
· www.google.com

Posted By:
Riska (20140710216)

Rabu, 30 Desember 2015

Perbedaan dan Persamaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Perbedaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Tradisi Tionghoa:

Dalam tradisi tionghua perhormatan kepada leluhur merupakan hal yang sangat penting. Berikut beberapa ritual atau upacara yang biasa dilakukan oleh orang Tionghua dalam penghormatan kepada leluhur.


Ritual Berkabung
Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci , dan yang umumnya selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga, keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan), menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.[3] Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.
Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah bagi masyarakat China memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.








Masyarakat China tradisional juga membedakan antara keturunan dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
Ritual Pemakaman
Menurut budaya tradisional China, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tentram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya.


Penghormatan Selanjutnya
Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta makanan. Seorang medium shi (尸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
Agama Buddha
Dalam agama Budha penghormatan kepada leluhur merupahan bentuk kasih sayang dari keturunan kepada leluhur, karena dengan adanya penghormatan kepada leluhur itu menandakan keturunan yang tetap mengingat leluhur-nya. Dalam agama Budha penghormatan kepada leluruhur biasa disebut sebagai Upacara Pelimpahan Jasa:
Pelaksanaan upacara sesaji atau pelimpahan jasa untuk menghormati leluhur telah di lakukan sejak jaman Buddha bahkan sebelum itu pun sudah banyak masyarakat yang melakukan sesaji. Pada jaman setelah munculnya Budhistsm tempat tempat upacara sesaji masih ada dan praktek sesaji masih dilakukan oleh masyarakat. upacara sesaji telah menjadi tradisi oleh masyarakat pada waktu itu salah satu wujud dari praktek upacara sesaji dengan menyembelih binatang binatang untuk di jadikan korban persembahan.
            Buddha telah menjelaskan mengenai upacara yang sukses “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, tidak ada kambin, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk manapun yang di bunuh”. (sutta pitaka digha nikaya IV kutadanta sutta 1993:14)
            Akan lebih baik jika umat Buddha dalam upacara sesaji tidak menggunakan daging hasil pembunuhan.  Misalnya, dalam upacara sesaji jika diharuskan untuk menggunakan daging, maka sebagai umat Buddha, daging tersebut dapat diperoleh dengan cara  membeli di pasar ataupun  di tempat pemotongan hewan tanpa memesan terlebih dahulu.apabila melalui memesan terlebih dahulu menurut agama buddha, umat tersebut telah melanggar pancasila sila pertama yang menyebutkan “panatipatta veramani sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak melakukan pembunuhan”.  Maksud dari sila pertama ini bukan hanya melakukan pembunuhan secara langsung saja, tetapimenyuruh orang untuk melakukan pembunuhan. Mebunuh yang di maksud tidak hanya membunuh binatang saja, tetapi juga meliputu menyiksa  dan menyakiti binatang ataupun juga manusia.­­­
            Upacara sesaji untuk menghormati orang meninggal juga juga di lakukan umat Buddha pada  waktu Buddha parinibana. Bikkhu Ananda menanyakan kepada sang Buddha apa yang harus di lakukan. Buddha menjelaskan untuk menghormatinya para bikkhu melakukan perawatan seperti perawatan raja dunia. Seperti yang telah di jelaskan sebagai berikut. “pertama tama di bungkus dalam kain linel yang baru, dan kemudian dengan kain katun wol yang baru pula..di berikan dalam satu peti dengan di cat meni”. (Mahaparinibana Sutta, 1986:37)
            Sesui dengan yang di jelaskan oleh sang buddha mengenai perawatan jenasah raja dunia,  Begitu pula yang di lakukan umat Buddha dan para bikkhu terhadap jenasah Buddha. Setelah jenasah Buddha di diperabukan umat melakukan puja bakti,  serta mempersembahkan bunga bunga untuk menghormat sang buddha hal ini di jelaskan dalam sebagai berikut. “ ... mengambil relik sang buddha di tempatkan di tengah tengah ruang sidang... di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama 7 hari.  Untuk menghormati relik sang buddha dengan menggunakan tari tarian, nyayian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga wangi wangian, melakukan puja bakti terhadap relik sang buddha”. (Mahaparinibana Sutta 1989:40)
            Cara yang dilakukan umat buddha pada waktu itu merupakan satu penghormatan terhadap Buddha yang meninggal dunia (Parinibbana). Jaman sekarang umat Buddha dalam melakukan persembahan untuk orang yang sudah meninggal dengan cara puja bakti, bunga, wewangian dan pelimpahan jasa. Upacara sesaji atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha selain untuk menghormati leluhur juga mempunyai makna untuk memberikan pertolongan leluhur yang terlahir di alam peta. Seperti yang di jelaskan sang buddha dalam aneka Sutta-Tirokudda  sutta, 1989:8 sebagai berikut “bagaikan sungai,bila airnya penuh dapat mengalirkan air ke laut. Demikian sesajen yang di berikan dapat menolong arwah dari sanak kluarga yang telah meninggal dunia”.

Persamaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Pada dasarnya baik dalam tradisi Tionghoa maupun agama Buddha sama-sama mengajarkan kita (sebagai keturunan) untuk terus mengingat para leluhur kita yang telah meninggalkan dunia ini. Untuk mengingat kebaikan dan pelajaran kehidupan yang telah meraka berikan kepada kita (sebagai keturunan). Walupun ritual atau upacara yang kita lakukan dengan cara yang berbeda.











Posted by:
Riska (20140710216)
Sumber:
www.google.com








Jumat, 25 Desember 2015

Es Shanghai

Es Shanghai

Resep Es Shanghai














Bahan: 

1.    1 bh alpukat ukuran besar
2.    100 gr cincau hitam
3.    100 gr nata de coco
4.    100 gr tape singkong
5.    100 gr kolang-kaling
6.    100 gr kacang hijau rebus
7.    100 gr kelapa muda serut
8.    es serut secukupnya
9.    sirup cocopandan dan susu kental manis untuk topping

Cara Membuat:

1. Belah alpukat dan serut/keruk menggunakan sendok. Sisihkan..
2. Potong-potong cincau hitam dan tapai singkong sehingga berbentuk dadu. Sisihkan.
3.  Bagi semua bahan kedalam 5-6 mangkuk saji.
4. Ambil es serut, masukkan kedalam cetakan seperti gelas dengan dasar yang lancip dan tekan-tekan biar agak padat. Buat sesuai jumlah sajian.
5. Letakkan es serut di atas masing masing sajian, siramkan sirup cocopandan serta susu kental manis diatasnya sebagai topping.
6. Es Shanghai siap dinikmati.

Sejarah dan Makna Es Shanghai

Shanghai adalah nama sebuah kota yang sangat modern di Daratan Tiongkok, sejak awal abad ke-20, jauh lebih maju bahkan dibandingkan dengan ibukotanya, Beijing (d/h Peking). Kenapa demikian? Karena Shanghai terbagi-bagi menjadi banyak daerah koloni, antaranya Jepang, Amerika, Inggris, Prancis, dan lainnya (lihat film-film kungfunya HuangFei-hung seperti Once Upon a Time in China). Boleh dibilang segala bangsa penjajah berkumpul dan mencengkramkan kuku di sini untuk menikmati kue lezat? bernama kota Shanghai.

Pada Perang Dunia Kedua, rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Dr Sun Yat-sen bangkit untuk mengusir penjajah. Ekstrimnya sampai membenci semua orang asing, khususnya bule. Pada puncaknya, penjajah meninggalkan Shanghai setelah membumi-hanguskan-nya, membakar di daratan dan mengebom dengan pesawat terbang. Dampaknya Shanghai menjadi porak-poranda, hangus, gosong! Korban jiwa di antara rakyat jelata tak terhitung banyaknya.

Nah, Es Shanghai dibuat untuk mengenang pembumi-hangusan yang luar biasa kejam itu. Jadi yang dominan pada Es Shanghai adalah siraman kuah coklatnya yang berwarna merah-kecoklatan- kehitaman, seperti bekas terbakar, pada gundukan serutan es batu. Disisipkan pula dua potong biskuit kering wafer sebagai simbolik bangunan yang runtuh. Itu bedanya dari es buah biasa, es teler, sop buah, dlsb.nya.

Dulu, pada era 1950-an, orang Tionghoa-Indonesia, sebelum menikmati Es Shanghai diam-diam memanjatkan doa dalam hati, semoga arwah para korban perang di Shanghai mendapatkan ketentraman di alam baka, barulah mulai mengaduk dan menyendoknya sesuap demi sesuap.

Believe it or not, but it’s the true story about Ice Shanghai!

Sedikit koreksi oleh Liang U … Sun Yat-sen memimpin revolusi menjatuhkan dinasti terakhir Qing (Tjeng), beliau meninggal tahun 1924, jauh sebelum perang dunia ke dua. Dalam Perang Dunia kedua yang menghancurkan Shanghai adalah orang Jepang

Es Shanghai di daerah Tangerang

Es Shanghai didaerah Tangerang bisa kita jumpai di Pasar Lama Tangerang atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Kawasan Kota Lama di Tangerang, tepatnya kedai Es "Bun Tin". Dekat Klenteng Boen Tek Bio.

Sekian penjelas tentang Es Shanghai :)
Semoga bermanfaat untuk kita semua :)

Posted By:
Riska (20140710216)
Victoria Dianna (20140700097)
Wimbi Lauranto (20150700087)

Sumber:
https://id.foursquare.com/v/es-shanghai-pasar-lama-bun-tin.
http://qudapan.blogspot.co.id.