Rabu, 30 Desember 2015

Perbedaan dan Persamaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Perbedaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Tradisi Tionghoa:

Dalam tradisi tionghua perhormatan kepada leluhur merupakan hal yang sangat penting. Berikut beberapa ritual atau upacara yang biasa dilakukan oleh orang Tionghua dalam penghormatan kepada leluhur.


Ritual Berkabung
Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci , dan yang umumnya selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga, keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan), menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.[3] Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.
Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah bagi masyarakat China memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.








Masyarakat China tradisional juga membedakan antara keturunan dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
Ritual Pemakaman
Menurut budaya tradisional China, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tentram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya.


Penghormatan Selanjutnya
Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta makanan. Seorang medium shi (ĺ°¸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
Agama Buddha
Dalam agama Budha penghormatan kepada leluhur merupahan bentuk kasih sayang dari keturunan kepada leluhur, karena dengan adanya penghormatan kepada leluhur itu menandakan keturunan yang tetap mengingat leluhur-nya. Dalam agama Budha penghormatan kepada leluruhur biasa disebut sebagai Upacara Pelimpahan Jasa:
Pelaksanaan upacara sesaji atau pelimpahan jasa untuk menghormati leluhur telah di lakukan sejak jaman Buddha bahkan sebelum itu pun sudah banyak masyarakat yang melakukan sesaji. Pada jaman setelah munculnya Budhistsm tempat tempat upacara sesaji masih ada dan praktek sesaji masih dilakukan oleh masyarakat. upacara sesaji telah menjadi tradisi oleh masyarakat pada waktu itu salah satu wujud dari praktek upacara sesaji dengan menyembelih binatang binatang untuk di jadikan korban persembahan.
            Buddha telah menjelaskan mengenai upacara yang sukses “brahma, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, tidak ada kambin, unggas, babi, yang di bunuh atau tidak ada mahluk manapun yang di bunuh”. (sutta pitaka digha nikaya IV kutadanta sutta 1993:14)
            Akan lebih baik jika umat Buddha dalam upacara sesaji tidak menggunakan daging hasil pembunuhan.  Misalnya, dalam upacara sesaji jika diharuskan untuk menggunakan daging, maka sebagai umat Buddha, daging tersebut dapat diperoleh dengan cara  membeli di pasar ataupun  di tempat pemotongan hewan tanpa memesan terlebih dahulu.apabila melalui memesan terlebih dahulu menurut agama buddha, umat tersebut telah melanggar pancasila sila pertama yang menyebutkan “panatipatta veramani sikhapadam sadiyamiyang berarti saya bertekad untuk melatih diri tidak melakukan pembunuhan”.  Maksud dari sila pertama ini bukan hanya melakukan pembunuhan secara langsung saja, tetapimenyuruh orang untuk melakukan pembunuhan. Mebunuh yang di maksud tidak hanya membunuh binatang saja, tetapi juga meliputu menyiksa  dan menyakiti binatang ataupun juga manusia.­­­
            Upacara sesaji untuk menghormati orang meninggal juga juga di lakukan umat Buddha pada  waktu Buddha parinibana. Bikkhu Ananda menanyakan kepada sang Buddha apa yang harus di lakukan. Buddha menjelaskan untuk menghormatinya para bikkhu melakukan perawatan seperti perawatan raja dunia. Seperti yang telah di jelaskan sebagai berikut. “pertama tama di bungkus dalam kain linel yang baru, dan kemudian dengan kain katun wol yang baru pula..di berikan dalam satu peti dengan di cat meni”. (Mahaparinibana Sutta, 1986:37)
            Sesui dengan yang di jelaskan oleh sang buddha mengenai perawatan jenasah raja dunia,  Begitu pula yang di lakukan umat Buddha dan para bikkhu terhadap jenasah Buddha. Setelah jenasah Buddha di diperabukan umat melakukan puja bakti,  serta mempersembahkan bunga bunga untuk menghormat sang buddha hal ini di jelaskan dalam sebagai berikut. “ ... mengambil relik sang buddha di tempatkan di tengah tengah ruang sidang... di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama 7 hari.  Untuk menghormati relik sang buddha dengan menggunakan tari tarian, nyayian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga wangi wangian, melakukan puja bakti terhadap relik sang buddha”. (Mahaparinibana Sutta 1989:40)
            Cara yang dilakukan umat buddha pada waktu itu merupakan satu penghormatan terhadap Buddha yang meninggal dunia (Parinibbana). Jaman sekarang umat Buddha dalam melakukan persembahan untuk orang yang sudah meninggal dengan cara puja bakti, bunga, wewangian dan pelimpahan jasa. Upacara sesaji atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha selain untuk menghormati leluhur juga mempunyai makna untuk memberikan pertolongan leluhur yang terlahir di alam peta. Seperti yang di jelaskan sang buddha dalam aneka Sutta-Tirokudda  sutta, 1989:8 sebagai berikut “bagaikan sungai,bila airnya penuh dapat mengalirkan air ke laut. Demikian sesajen yang di berikan dapat menolong arwah dari sanak kluarga yang telah meninggal dunia”.

Persamaan Penghormatan Kepada Leluhur Dalam Tradisi Tionghoa dan Agama Buddha

Pada dasarnya baik dalam tradisi Tionghoa maupun agama Buddha sama-sama mengajarkan kita (sebagai keturunan) untuk terus mengingat para leluhur kita yang telah meninggalkan dunia ini. Untuk mengingat kebaikan dan pelajaran kehidupan yang telah meraka berikan kepada kita (sebagai keturunan). Walupun ritual atau upacara yang kita lakukan dengan cara yang berbeda.











Posted by:
Riska (20140710216)
Sumber:
www.google.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar